Ifadatut Thullab - (12) Kebolehan Memburuhkan Bacaan Al-Qur'an Untuk Mayit

Ifadatut Thullab - Boleh Memburuhkan Bacaan Al-Qur'an Untuk Mayit

Berdasarkan ini, maka pada saat ini boleh memburuhkan (memberi upah pada seseorang) untuk membaca Al-Qur'an kepada mayit, kebolehan itu dijelaskan oleh para sahabat. Di dalam bab yang sudah dijadikan nash : Sah saja memberikan upah (kepada seseorang) untuk membaca Al-Qur'an di kubur dalam sebuah masa atau perkiraan (waktu), yang keduanya telah diketahui. Mayit dapat menerima kemanfaatan dengan turunnya rohmat ketika Al-Qur'an dibaca meskipun tidak berdoa sesudah membacanya, selesai.

(Mayit menerima kemanfaatan) seperti yang sudah kamu ketahui merupakan sebuah kejelasan yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh ulama muta'akhhirun (ulama' akhir) seperti ketiga imam mengenai tersyariatkannya membaca Al-Qur'an kepada mayit supaya ia menerima kemanfaatan membaca Al-Qur'an tersebut, meskipun tidak ditutup doa sesudahnya. Maka hanya bagi Allah segala puji atas demikian itu (mayit menerima manfaat bacaan Al-Qur'an).

Di dalam Kitab Fatawi, Hafidus Sunnah (orang yang hafal sunnah), yaitu Imam Jalaluddin As-Suyuthi, yang mana nashnya sebagai berikut :

[Masalah] orang yang melakukan khataman membaca Al-Qur'an karena upah, apakah halal baginya menerima upah itu ? Apakah upah yang didapat termasuk bab pekerjaan atau shodaqoh ?

[Jawaban] tentu, halal baginya menerima harta atas bacaan Al-Qur'an dan doa setelahnya. Namun, itu bukan termasuk bab ijarah (upah) dan juga bukan shodaqoh, tetapi bab ju'alah (janji upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu).

Membaca Al-Qur'an tidak boleh diburuhkan karena manfaat bacaannya tidak kembali kepada orang yang menjadikan buruh, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh madzhab kita bahwa pahala membaca Al-Qur'an milik orang yang membaca bukan orang yang dibacakan. Namun bacaan Al-Qur'an boleh dijadikan akad ju'alah dengan syarat berdoa setelahnya, jika tidak maka tidak akan sampai pahalanya, sedangkan akad ju'alah itu dinilai berdasarkan doanya bukan berdasarkan bacaan Al-Qur'annya, ini merupakan kepastian kaidah-kaidah fiqih, selesai.

Tetapi mengenai apa yang telah dikatakan, kita bisa melihat bahwa pahala membaca Al-Qur'an adalah milik orang yang membaca, tetapi demikian itu tidak seharusnya meniadakan kembalinya kemanfaatan bacaan Al-Qur'an kepada mayit. Maka, memburuhkan bacaan Al-Qur'an dalam masalah ini adalah boleh sesuai dengan apa yang telah ditetapkan mengenai kembalinya kemanfaatan membaca Al-Qur'an kepada mayit yang hadir (ada di hadapan) atau dimaksudkan membaca kepadanya (tidak ada di hadapan). Demikian itulah Imam Ibnu Rofi'ah ra berpendapat di dalam kitabnya, yaitu "Kifayatun Nabih".

[Cabang masalah dari Al-Qodli Husain] di dalam Kitab Fatawi, memburuhkan pahala membaca Al-Qur'an di atas kubur dalam sebuah waktu (tertentu) merupakan kebolehan seperti memburuhkan adzan dan mengajar Al-Qur'an.

Ketahuilah bahwa kembalinya manfaat kepada orang yang memburuhkan adalah syaratnya, maka wajib pula mengembalikan kemanfaatan itu di dalam akad ijarah (akad memburuhkan) kepada orang yang memburuhkan atau kepada mayitnya, sedangkan orang yang memburuhkan tidak mampu menerima kemanfaatan membaca Al-Qur'an dan yang diketahui bahwa sesungguhnya mayit tidak akan sampai pahala membaca Al-Qur'an yang diburukan kepadanya.

Ada sebuah versi pendapat mengenai memberikan pahala buruhan pada bentuk mayit memperoleh manfaat atas bacaan Al-Qur'an dan para ulama' fiqih telah menyebutnya dalam 2 jalan (pendapat) :

Salah satu dari keduanya : Mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan doa kepada mayit, karena sesungguhnya doa itu akan sampai kepadanya. Doa setelah membaca Al-Qur'an lebih dekat pada terkabulkannya dan lebih banyak berkahnya.

Pendapat kedua : Syekh Abdul Karim Asy-Syalusyi menyebutkan bahwa jika seorang pembaca hanya meniatkan bacaannya kepada mayit, maka pahala itu tidak akan sampai kepada mayit. Jika dia membaca Al-Qur'an, kemudian menjadikan pahala yang dihasilkan kepada mayit, maka ini adalah doa sampainya pahala itu kepada mayit, sehingga mayit memperoleh kemanfaatan dengan doa itu (pahalanya sampai kepada mayit).

[Aku mengatakan] makna dhahir dari perkataan Al-Qadli Husain adalah sahnya akad ijarah (buruh) secara mutlaq. Perkataan itu adalah pendapat yang dipilih karena sesungguhnya tempat membaca Al-Qur'an adalah tempat berkah dan turunnya rahmat. Dan inilah yang dimaksud dengan mayit memperoleh kemanfaatan, IH - dan seterusnya.

Di dalam Kitab At-Tuhfah oleh Al-Hafidz Ahmad Ibnu Hajar, ada pendapat yang mana nashnya adalah :

Sah-sah saja memburuhkan bacaan Al-Qur'an di kubur. Atau (tidak dibaca di sekitar kubur tetapi harus) disertai doa dengan seumpama pahala yang dihasilkan kepada mayit atau kepada selain mayit seusai bacaan itu, baik dengan menentukan waktu, tempat, atau tidak (keduanya). Dan niat memberikan pahala kepada mayit tanpa doa adalah perkara yang sia-sia, perndapat ini bertentangan dengan kebanyak ulama' meskipun Imam As-Subki sendiri memilih perdapat mereka. Dan demikian itu (niat memberikan pahala) yaitu kalimat "aku menghadiahkan bacaanku atau pahalanya kepada mayit", pendapat ini juga bertentangan dengan kebanyak ulama'.Atau berada di hadapan orang yang memburuhkan, atau di sekitar anaknya di dalam apapun yang tampak. Atau dengan disertai penyebutannya (memberikan pahala) di dalam hati saat keadaan membaca Al-Qur'an, sebagaimana sebagian ulama' menyebutkannya bahwa tempat membaca Al-Qur'an adalah tempat berkah dan turunnya rahmat, sedangkan doa sesudahnya adalah lebih mendekati terkabulkannya doa. Mendatangkan keberadaan orang yang memburukan menjadi sebab menyebarnya rahmat kepada mayit ketika rahmat itu turun di hati orang yang membaca. Akad memburuhkan (upah) disamakan dalam hal membaca Al-Qur'an pada murninya dzikir dan doa setelah dzikir itu (1).

Catatan (1) :
Dari pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar di atas, maka bisa disimpulkan bahwa boleh saja memburuhkan membaca Al-Qur'an dengan syarat :
  1. membacanya harus di sekitar kubur,
  2. jika tidak disekitar kubur seperti di rumah orang yang memburuhkan, maka harus disertai doa setelah selesai membaca bahwa pahalanya dihadiahkan kepada mayit
  3. membaca Al-Qur'an harus berada di sekitar orang yang memburuhkan (mengupahi) karena demikian itu menjadi sebab menyebarnya rahmat kepada mayit ketika rahmat itu turun di hati orang yang membaca
  4. atau, saat membaca Al-Qur'an harus disertai dengan niat di dalam hati bahwa pahalanya akan dihadiahkan kepada mayit.
Apapun yang dibiasakan di dalam doa setelah membaca Al-Qur'an, baik menjadikan pahala bacaannya atau seumpama pahala itu, dengan didahului pada kehadirat Nabi SAW (ila hadroti nabi SAW) dan bertambanya kemuliaan Beliau adalah sesuatu yang diperbolehkan, sebagaimana beberapa perkumpulan dari golongan ulama' akhir telah berpendapat, bahkan kebaikan yang disunnahkan. Berbeda pada orang yang memiliki wahm (dugaan lemah atau khayalan dengan disertai ragu) di dalam masalah kebiasaan itu. Karena sesungguhnya Nabi SAW telah mengizinkan kepada kita melalui perintah Beliau dengan seumpama permohonan wasilah kepada Beliau di setiap doa, sebab di dalamnya terdapat tambahan dalam mengangungkan Beliau. Dan membuang contoh yang pertama (tidak ada orang yang berdoa dengan washilah) sudah banyak dan menyebar secara bahasa dan pengamalannya. Tidak ada apapun yang bisa menduga kekurangannya di dalam doa dengan tambahan di dalam kemuliaan (Nabi SAW), berbeda juga dengan orang yang memiliki wahm di dalamnya, sebagaimana telah saya jelaskan di dalam Kitab Fatawi.

Dan di dalam hadits Sahabat Ubay yang masyhur (hadits masyhur atau hadits yang terkenal) :
ÙƒَÙ…ْ اَجْعَÙ„ُ Ù„َÙƒَ Ù…ِÙ†ْ صَÙ„َاتِÙŠْ
"Berapa aku akan menjadikan bacaan shalawatku kepadamu ?".

Maksudnya adalah doaku adalah sesuatu yang dasar dan agung di dalam berdoa kepada Nabi SAW seusai membaca Al-Qur'an dan lainnya. Dan termasuk tambahan dari kemulian Nabi SAW adalah amalan orang yang berdoa dengan demikian akan diterima oleh Allah dan dia diberikan pahala. Dan setiap orang dari umat yang diberikan pahala, maka bagi Nabi SAW seperti seumpama pahalanya yang dilipatgandakan dengan sejumlah perantara-perantara yang ada di antara Nabi dan setiap orang yang mengamalkan, bersama dengan pertimbangan (kapasitas) tambahan yang dilipatgandakan. Setiap doa (washilah) diurutkan derajatnya berdasarkan apapun yang sesudahnya (tambahan yang dilipatgandakan). Pertama adalah pahala tersampaikan pada para sahabat dan amalnya, Kedua adalah ini (pahala tersampaikan para sahabat), pahala tersampaikan pada para tabi'in, dan amalnya. Dan yang ketiga adalah demikian itu secara keseluruhannya (sahabat dan tabi'in), pahala tersampaikan pada tabi'it tabi'in dan amalnya, dan seperti itu seterusnya. Demikian itu adalah kemuliaan yang tiada ujung,
Selesai (pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Kitab At-Thuhfah).

Pendapat Syekh Ibnu Hajar ra "atau dengan disertai penyebutannya (memberikan pahala) di dalam hati saat keadaan membaca Al-Qur'an" dan seterusnya, di dalamnya ada sebuah beberapa isyarat bahwa akan sampai kepada mayit manfaat besar dengan menyebutkan kehadiran mayit (ila ruhi mayit) saat dalam keadaan membaca dan meskipun tidak berdoa agar sampai pahala kepada mayit seusai membaca Al-Qur'an. Lalu, pendapat beliau sebelumnya "Niat menyampaikan pahala kepada mayit tanpa berdoa adalah sesuatu yang sia-sia", maksudnya adalah dari segi tidak sampainya seumpama pahala orang yang membaca, bukan dari segi mayit tidak mendapatkan manfaat dengan bacaan Al-Qur'an semata. Jika tidak (maksudnya mayit tidak mendapat manfaat bacaan), maka akan bertentangan dengan pendapat sesudahnya, Syekh Jamal Ar-Ramli telah berlawanan dengan pendapat itu dan menetapkan sampainya pahala terlepas tujuan atas mayit dengan bacaan Al-Qur'an itu, meskipun tidak diniati sebagaimana penjelasan yang telah dilewati.

Al-Allamah Al-Asykhari telah menjelaskan mengenai pendapat yang unggul dari gurunya, Ibnu Hajar, di dalam Kitab Fatawinya, akad memburuhkan (mengupahi) pada demikian itu (bacaan Al-Qur'an untuk mayit) terdapat 3 keadaan :
  1. memburuhkan bacaan Al-Qur'an di atas ro'sul kubur (kepala kubur), maksudnya tempat yang terbilang mayit ada di dalamnya jika ditentukan bagi orang yang hidup dan hadir (di sekitar kubur). Keadaan membaca ini shahih, sebagaimana fatwa Al-Imrani, Al-Marwadi, Ar-Rauyani, Al-Qadli Husain, dan An-Nawawi memilihnya
  2. memburuhkan agar seseorang membaca Al-Qur'an untuk mayit tanpa ditaqyidkan (terikat) dengan dzikir kubur, maka hukum keadaan ini seperti hukum pertama, sehingga bacaan Al-Qur'an menjadi tertentu karena menempati pada pengertian muthlaq di atas pengertian muqayyad, sebagaimana fatwa Ibnu Kaban dan lainnya
  3. memburuhkan bacaan Al-Qur'an tidak di sekitar kubur. Jika bertambah bersamaan demikikian itu dan berdoa untuk mayit misalnya dengan seumpama pahala yang dihasilkan, maka sah juga. Atau bertambah dan meniatkan pahala untuk mayit, maka demikian itu juga sah. Jika kita berkata, "Sesungguhnya tujuan murni, hukumnya seperti berdoa", itu adalah apa yang dikatakan oleh As-Subki dengan mengikuti gurunya yaitu Ibnu Rafi'ah, sekiranya Ibnu Rafi'ah berpendapat : "Sesungguhnya perkara yang ditunjukkan oleh khabar dan istinbath (memetik hukum), bahwa bacaan Al-Qur'an, ketika seseorang bertujuan membacanya untuk kemanfaatan mayit, maka bacaan itu akan memberi manfaat kepada mayit. Karena telah tetap bahwa seseorang yang membaca Al-Qur'an ketika tujuan membacanya adalah memberi manfaat pada orang yang digigit ular, maka bacaan itu memberinya manfaat (mampu menyembuhkannya). Nabi SAW telah menetapkan demikian itu dengan sabdanya :
    ÙˆَÙ…َا ÙŠُدْرِÙƒَ اَÙ†َّÙ‡َا رُÙ‚ْÙŠَØ©ٌ
    "Apa yang membuatmu tahu bahwa Surat Fatihah adalah ruqyah (suwuk atau doa yang manjur)".
    Dan ketika bacaan Al-Qur'an memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup, maka manfaat kepada mayit atas bacaan Al-Qur'an tentu lebih utama (lebih berhak), karena sesungguhnya ada beberapa ibadah bisa jatuh dari mayit di mana itu tidak jatuh dari orang yang masih hidup. Selesai pendapat Al-Allamah Al-Asykhari.

Di dalam penyandaran dalil di atas, ada sebuah pengamatan dhahir, sesungguhnya orang yang digigit ular itu hadir (ada) saat keadaan ruqyah, sedangkan bacaan Fatihah bersamaan dengan meniupkan ludah ada pada tempat yang tergigit. Pengamatan ini kembali kepada masalah yang pertama, yang mana telah tercukupi terlepasnya bacaan Al-Qur'an tanpa tujuan apapun.

Kemudian, syekh kami, Ibnu Hajar telah menjelaskan di dalam Kitab At-Tuhfah dengan menilai pengamatan sekiranya beliau berpendapat "niat memberikan pahala kepada mayit tanpa doa adalah perkara yang sia-sia, perndapat ini bertentangan dengan kebanyak ulama' meskipun Imam As-Subki sendiri memilih perdapat mereka", atau Imam As-Subki menambahi "dan bacaan Al-Qur'an atau pahala bacaan dihadiahkan kepada mayit". Maka seperti demikian itu, maksudnya adalah sahnya akad ijarah (upah), jika kita mengatakan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Arzaqi mengikuti pendapat kebanyak ulama'. Maka demikian itu (akad ijarah) akan sampai kepada mayit, dan itu bukan seperti membaca murni, tetapi hal yang dipegang adalah bertentangan dengan pendapat Al-Arzaqi, maka akad ijarah tidaklah sah. Selesai.