Nurul Lum'ah, Kekhususan 51 – 60

Nurul Lum'ah, Kekhususan 51 – 60

Terjemah Kitab Nurul Lum’ah fi Khashaishij Jumu’ah Bahasa Indonesia, Kekhususan 51 – 60.


Kekhususan 51

Bahwa Hari Jum’at adalah hari tambahan. Imam As-Syafi’I mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Al-Umm dari Sahabat Anas bin Malik berkata: Malaikat Jibril datang dengan membawa sebuah cermin putih yang di dalamnya ada titik hitam pada Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW bertanya, “Apa titik hitam ini?”.

Malaikat Jibril menjawab, “Ini adalah Hari Jum’at (hari kiamat yang terjadi di Hari Jum’at), engkau telah memperoleh kelebihan (keutamaan) dan umatmu di Hari Jum’at. Sesungguhnya manusia mengikuti kalian di Hari Jumat, orang-orang yahudi dan orang Nasrani mengikuti (hari  raya mereka adalah Hari Sabtu dan Minggu), kalian memiliki kebaikan di Hari Jum’at, di Hari Jum’at ada masa yang mana seorang mukmin yang sedang berdoa kepada Allah memohon kebaikan tidak mendapatinya kecuali dikabulkan doanya, dan Hari Jum’at di sisi Kami adalah hari tambahan”.

Nabi SAW bertanya, “Wahai Malaikat Jibril, dan apa itu hari tambahan?”.

Malaikat Jibril menjawab, “Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan sebuah lembah di Surga Firdaus yang dihamburkan dengan wewangian tumpukan minyak misik. Lalu ketika Hari Jum’at telah tiba, Allah menurunkan golongan dari para malaikat. Di sekitarnya ada mimbar-mimbar cahaya dan di atasnya ada tempat duduk para nabi. Mimbar-mimbar itu dikelilingi dengan mimbar-mimbar emas yang diteretesi dengan batu yaqut dan batu zamrud, di atasnya ada para syuhada’ dan shiddiqun. Lalu, para penghuni surga duduk di belakang mereka di atas tumpukan minyak misik. Lalu Allah berkata, “Aku adalah Tuhan kalian, kalian telah membenarkan janji-Ku, lalu mintalah pada-Ku, maka Aku akan memberi kalian”. Para penghuni surga pun menjawab, “Wahai Tuhan kami, kami meminta ridlomu”. Lalu Allah berkata, “Aku telah meridloi kalian, kalian memiliki apa yang kalian inginkan pada-Ku, dan Aku memiliki hari tambahan”. Para penghuni surga pun mencintai Hari Jum’at karena kebaikan yang diberikan Tuhan mereka di hari itu.

Hadits ini memiliki banyak jalur dari Sahabat Anas dan di dalam sebagaian jalurnya: Para penghuni surga menempati duduk mereka ini sampai waktu kira-kira manusia selesai melaksanakan sholat jum’at. Kemudian para penghuni surga kembali ke kamar mereka. Imam Al-Ajurri meriwayatkan hadits ini di dalam Kitab Ar-Ru’yah.

Imam Al-Ajurri juga mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Ar-Ru’yah dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلُوْهَا نَزَلُوْا فِيْهَا بِفَضْلِ أَعْمَالِهِمْ فَيُؤْذَنُ لَهُمْ فِيْ مِقْدَارِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ مِنْ أَيَّامِ الدُّنْيَا فَيَزُوْرُوْنَ اللّٰهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَيُبْرِزُ اللّٰهُ لَهُمْ عَرْشَهُ وَيَتَبَدِّى لَهُمْ فِيْ رَوْضَةٍ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَتُوْضَعُ لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ وَمَنَابِرُ مِنْ لُؤْلُؤٍ وَمَنَابِرُ مِنْ يَاقُوْتٍ وَمَنَابِرُ مِنْ زَبَرْجَدٍ وَمَنَابِرُ مِنْ ذَهَبٍ وَمَنَابِرُ مِنْ فِضَّةٍ وَيَجْلِسُ أَدْنَاهُمْ - وَمَا فِيْهِمْ أَدْنٰى - عَلَى كُثْبَانِ الْمِسْكِ وَالْكَافُوْرِ وَمَا يَرَوْنَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَرَاسِيِّ بِأَفْضَلَ مِنْهُمْ مَجْلِسًا

Sesungguhnya ketika penghuni surga memasuki surga, mereka menempatinya dengan keutamaan amal-amal perbuatan mereka. Mereka diizinkan (untuk sowan kepada Allah SWT) pada perkiraan Hari Jum’at dari hari-hari dunia. Lalu mereka sowan kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Allah pun menampakkan Arsy-Nya dan menamakkan Dzat-Nya pada mereka di taman dari taman-taman surga. Lalu diletakkanlah bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya, mimbar-mimbar dari mutiara, mimbar-mimbar dari batu yaqut, mimbar-mimbar dari batu zamrud, mimbar-mimbar dari emas, dan mimbar-mimbar dari perak. Penghuni surga yang paling rendah duduk, meski tidak ada di dalam mereka yang paling rendah, di atas tumpukan misik dan kafur. Dan penghuni surga yang duduk di kursi tidak melihat tempat duduk yang lebih utama daripada mereka”.

Al-hadits, dan di dalam hadits itu dijelaskan pemandang Dzat Allah SWT, mendengar Firman Allah SWT, dan penjelasan pasar surga.

Imam Al-Ajurri juga mengeluarkan dari Sahabat Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَزُوْرُوْنَ رَبَّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فِيْ رِمَالِ الْكَافُوْرِ، وَأَقْرَبُهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا أَسْرَعُهُمْ إِلَيْهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَبْكَرُهُمْ غُدُوًّا

Sesungguhnya penghuni surga sowan kepada Tuhan mereka yang Maha Mulia dan Maha Agung di setiap Hari Jum’at di tumpukan pasir yang terbuat dari kafur. Dan mereka yang paling dekat dengan Tuhan mereka adalah yang paling cepat di Hari Jum’at dan yang paling pagi berangkatnya (melaksanakan sholat jum’at)”.


Kekhususan 52

Hari Jum’at disebutkan di dalam Al-Qur’an, tidak hari-hari dalam seminggu lainnya. Allah Ta’ala berfirman:

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ

Apabila panggilan untuk melaksanakan sholat telah diserukan di Hari Jum’at” (Surat Jumu’ah: 9).


Kekhususan 53

Bahwa Hari Jum’at adalah syahid (yang menyaksikan) dan masyhud (yang disaksikan) di dalam ayat Al-Qur’an dan Allah telah bersumpah dengan Hari Jum’at. Imam Ibnu Jarir mengeluarkan riwayat dari Sahabat Ali bin Abi Thalib mengenai Firman Allah Ta’ala:

وَشَاهِدٍ وَمَشْهُوْدٍ

Demi yang menyaksikan dan yang disaksikan” (Al-Buruj: 3).

Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: Yang menyaksikan adalah Hari Jum’at dan yang disaksikan adalah Hari Arafah.

Imam Hamid bin Zanjawaih mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Fadhailul A’mal dari Sahabat Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

الْيَوْمُ الْمَوْعُوْدُ يَوْمُ الْقِيَامَةِ وَالْمَشْهُوْدُ يَوْمُ عَرَفَةَ وَالشَّاهِدُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، مَا طَلَعَتْ شَمْسٌ وَلَا غَرَبَتْ عَلٰى أَفْضَلَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Hari yang dijanjikan adalah hari kiamat, yang disaksikan adalah hari Arafah, dan yang menyaksikan adalah hari Jum’at. Tiada hari di mana matahari terbit dan tenggelam yang lebih utama daripada hari Jum’at”.

Imam Ibnu Jarir mengeluarkan riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas berkata: Yang menyaksikan adalah manusia, yang disaksikan adalah hari Jum’at.

Imam Ibnu Jarir mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Darda’ berkata, Rasulullah SAW bersabda:

أَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِنَّهُ يَوْمُ مَشْهُوْدٍ تَشْهَدُهُ الْمَلَائِكَةُ

Perbanyaklah membaca sholawat padaku di hari Jum’at, karena hari Jum’at adalah hari yang disaksikan yang mana para malaikat menyaksikannya”.


Kekhususan 54

Hari Jum’at adalah hari simpanan bagi umat ini. Imam Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim) mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:

نَحْنُ الْآخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا، ثُمَّ هٰذَا يَوْمُهُمُ الَّذِيْ فَرَضَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ فَاخْتَلَفُوْا فِيْهِ فَهَدَانَا اللّٰهُ لَهُ، فَالنَّاسُ لَنَا فِيْهِ تَبَعَ اليَّهُوْدُ غَدًا وَالنَّصَارَى بَعْدَ غَدٍ

Kita adalah umat akhir zaman dan umat yang lebih dahulu di Hari Kiamat, hanya saja mereka (umat sebelumnya) telah diberikan kitab sebelum kita. Kemudian hari Jum’at ini adalah hari mereka yang mana Allah mewajibkan pada mereka (untuk mengagungkannya), mereka pun berselisih (tidak mau patuh) tentang hari itu. Lalu Allah menuntun kita pada hari ini (agar kita tidak berselisih seperti mereka). Manusia akan mengikuti kita di dalam hari ini, orang-orang yahudi mengikuti di hari besoknya (hari Sabtu) dan orang-orang Nasrani mengikuti di hari sesudah besok (hari Minggu)”.

Dan pada riwayat Imam Muslim dan Sahabat Abu Hurairah dan Sahabat Hudzaifah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

أَضَلَّ اللّٰهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الْأَحَدِ فَجَاءَ اللّٰهُ بِنَا فَهَدَانَا لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ

Allah telah menyesatkan golongan sebelum kita dari hari Jum’at, lalu bagi orang-orang Yahudi adalah hari Sabtu dan bagi orang-orang Nasrani adalah hari Ahad. Lalu Allah datang pada kita, Dia memberikan menuntun kita pada hari Jum’at”.


Kekhususan 55

Sesungguhnya hari Jum’at adalah hari pengampunan. Imam Ibnu Adi mengeluarkan riwayat dan Imam Thabrani di dalam Kitab Al-Ausath dengan sanad yang jayyid (baik) dari Sahabat Anas berkata, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللّٰهَ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى لَيْسَ بِتَارِكٍ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا غُفِرَ لَهُ

Sesungguhnya Allah yang Maha Memberi Berkah dan Maha Luhur tidaklah meninggalkan seseorang dari golongan orang-orang islam di hari Jum’at kecuali diampuni dosanya”.


Kekhususan 56

Sesungguhnya hari Jum’at adalah hari kemerdekaan (dari neraka). Imam Bukhari mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Tarikhnya dan Imam Abu Ya’la, dari Sahabat Anas berkata, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعَةُ وَعِشْرُوْنَ سَاعَةً لَيْسَ فِيْهَا سَاعَةٌ إِلَّا وَلِلّٰهِ فِيْهَا سِتُّمِائَةِ عَتِيْقٍ مِنَ النَّارِ كُلُّهُمْ قَدِ اسْتَوْجَبُوا النَّارَ

Sesungguhnya hari Jum’at dan malam Jum’at ada 24 jam, tiada satu jam saja di dalamnya kecuali Allah memiliki 600 orang yang dimerdekakan dari neraka yang mana semuanya memang wajib masuk neraka”.

Imam Ibnu Adi mengeluarkan riwayat dan Imam Baihaqi di dalam Kitab Syu’abul Iman dengan redaksi:

أَنَّ لِلّٰهِ فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ سِتُّمِائَةِ أَلْفِ عَتِيْقٍ

Sesungguhnya Allah memiliki 600.000 orang yang dimerdekakan dari neraka di setiap hari Jum’at”.


Kekhususan 57

Di dalam hari Jum’at ada waktu mustajabah (dikabulkannya doa). Imam Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim) meriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah menjelaskan mengenai hari Jum’at, lalu beliau bersabda:

فِيْهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللّٰهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Di dalam hari Jum’at adalah waktu yang mana tidaklah seorang hamba mukmin mendapatinya sedangkan ia dalam keadaan berdiri mengerjakan sholat, ia memohon sesuatu kepada Allah, kecuali Allah akan memberikan itu padanya – Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya, beliau menunjukkan waktu itu sangat sebentar”.

Pada riwayat Imam Muslim dari Sahabat Abu Hurairah:

أَنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللّٰهَ فِيْهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ هِيَ سَاعَةٌ خَفِيْفَةٌ

Sesungguhnya di hari Jum’at ada waktu yang mana tidaklah seorang muslim mendapatinya sedangkan ia memohon kebaikan kepada Allah di dalamnya, kecuali Allah memberikan itu padanya, waktu itu adalah waktu yang sebentar”.

Para ahli ilmu dari golongann shohabat, tabi’in, dan sesudahnya, mereka berselisih pendapat di dalam waktu mustajabah ini lebih dari 30 pendapat.

Ada yang mengatakan bahwa waktu mustajabah telah dihilangkan. Imam Abdur Razzaq mengeluarkan riwayat dari Abdullah, mantan budak Sahabat Muawiyah berkata: Aku bertanya pada Sahabat Abu Hurairah, “Bahwa ada golongan yang menyangka bahwa waktu yang mana dikabulkannya doa di hari Jum’at telah dihilangkan?”. Lalu Sahabat Abu Hurairah menjawab, “Telah berdsta orang yang mengatakan demikian itu”. Aku bertanya, “Waktu mustajabah itu di setiap hari Jum’at?”. Sahabat Abu Hurairah menjawab, “Iya”.

Ada yang mengatakan bahwa waktu mustajabah itu ada di satu hari Jum’at di setiap tahun, Sahabat Ka’ab mengatakan pendapat itu pada Sahabat Abu Hurairah. Lalu Sahabat Abu Hurairah menyangganya dan mengembalikan pendapat itu padanya.

Ada yang mengatakan bahwa waktu mustajabah disamarkan di semua hari sebagaimana disamarkannya lailatul qadr di sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan.

Imam Ibnu Huzaimah dan Imam Al-Hakim mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Salamah berkata, aku bertanya pada Sahabat Abu Sa’id Al-Hudri tentang hari Jum’at. Lalu ia menjawab, “Aku pernah bertanya pada Nabi SAW tentang itu, lalu beliau menjawab, “Aku pernah mengetahuinya, kemudian aku dilupakan tentangnya sebagaimana aku dilupakan tentang lailatul qadr””.

Imam Abdur Razzaq mengeluarkan riwayat dari Sahabat Ka’ab berkata:

لَوْ أَنَّ إِنْسَانًا قَسَّمَ جُمُعَتَهُ فِيْ جُمَعٍ لَأَتٰى عَلٰى تِلْكَ السَّاعَةِ

Jika manusia membagi-bagi jum’atnya ke dalam beberapa bagian jum’at, maka ia akan mendapati waktu mustajabah itu”.

Imam Ibnu Mundzir berkata: Makna pendapat Sahabat Ka’ab itu adalah ada seseorang yang memulainya, ia berdoa di hari Jum’at (sip pertama) mulai awal siang sampai waktu tertentu. Kemudian di hari Jum’at (sip kedua), ada orang lain memulai dari waktu itu (sip pertama) sampai akhir waktu, sehingga ia melewati akhir siang.

Hikmah di samarkannya waktu mustajabah adalah mendorong hamba-hamba untuk berusaha mencarinya dan menyibukkan diri di dalam waktu mustajabah itu dengan beribadah.

Ada yang mengatakan bahwa waktu mustajabah itu berpindah-pindah (ganti-ganti) di hari Jum’at, tidak tetap waktu tepatnya. Pendapat ini diutarakan oleh sebagian ulama’ sebagai bentuk kemungkinan. Pendapat ini ditetapkan oleh Imam Ibnu Asakir dan lainnya, sedangkan Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Muhibbu At-Thabari mengunggulkan pendapat ini.

Ada yang mengatakan, waktu mustajabah itu ketika seorang mua’dzin mengumandangkan adzan sholat subuh. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dari Sayyidah Aisyah.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) mulai dari terbitnya fajar sampai terbitnya matahari. Pendapat ini diriwyatkan oleh Imam Ibnu Asakir dari Sahabat Abu Hurairah.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) ketika terbitnya matahari.Pendapat ini diceritakan oleh Imam Al-Ghazali.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) di awal pertama setelah terbitnya matahari. Pendapat ini diceritakan oleh Imam Al-Jili dan Imam Al-Muhibbut Thabari, yang mana keduanya mensyarahi Kitab At-Tanbih.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) di akhir waktu ketiga dari siang hari, sesuai dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’:

وَفِيْ آخِرِ ثَلَاثِ سَاعَاتٍ مِنْهُ سَاعَةٌ مَنْ دَعَا اللّٰهَ فِيْهَا اسْتُجِيْبَ لَهُ

Dan di akhir waktu ketiga dari siang hari (di Hari Jum’at) ada sebuah waktu di mana barang siapa yang berdoa kepada Allah di dalamnya, maka doanya dikabulkan” (HR. Imam Ahmad bin Hanbal).

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) ketika matahari telah tergelincir (lingsir). Pendapat ini diceritakan oleh Imam Ibnu Mundzir dari Abu Aliyah. Imam Abdur Razzaq mengeluarkan hadits dari Al-Hasan dan Imam Ibnu Asakir mengeluarkan dari Sabahat Qatadah, berkata:

كَانُوْا يَرَوْنَ السَّاعَةَ الْمُسْتَجَابَ فِيْهَا الدُّعَاءُ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ

Para sahabat melihat waktu mustajabah yang di dalamnya dikabulkan doa ketika tergelincirnya matahari”.

Imam Ibnu Hajar mengatakan: Tolak pengambilan mereka di dalam pendapat itu adalah bahwa waktu tergelincirnya matahari adalah waktu berkumpulnya para malaikat, permulaan masuknya waktu sholat jum’at, adzan, dan sebagainya.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) ketika seorang mu’adzin mengumandangkan adzan sholat jum’at. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari Sayyidah Aisyah, berkata:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ مِثْلُ يَوْمِ عَرَفَةَ فِيْهِ تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ اللّٰهَ فِيْهَا الْعَبْدُ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، قِيْلَ : أَيَّةُ سَاعَةٍ، قَالَتْ : إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ

Hari Jum’at seperti Hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), di dalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan di dalamnya ada sebuah waktu yang mana tidaklah seorang hamba memohon kepada Allah di waktu itu kecuali Dia memberikannya. Ada yang bertanya, “Kapankah waktu itu?”. Sayyidah Aisyah menjawab, “Ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan sholat jum’at””.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayang-bayang benda menjadi seukuran satu dzira’ (satu hasta). Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari Sahabat Abu Dzarr.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu dimulai dari tergelincirnya matahari) sampai masuk waktu sholat jum’at. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari Abu As-Sawwar Al-Adawi.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) dimulai dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari. Pendapat ini diceritakan oleh Imam Ad-Dzimari di dalam Kitab Nukkatut Tanbih.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) ketika Imam keluar (ketika khatib naik ke mimbar). Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Zanjawaih dari Al-Hasan.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) yaitu waktu antara keluarnya imam (ketika khatib naik ke mimbar) sampai didirikannya sholat jum’at. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari Al-Hasan, dan oleh Al-Mawarzi di dalam Kitab Al-Jumu’ah dari Auf bin Hashrah.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) yaitu waktu antara keluarnya imam (ketika khatib naik ke mimbar) sampai diselesaikannya sholat jum’at. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir  dari Musa dan Sahabat Ibnu Umar secara mauquf, dan dari As-Syi’bi.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) yaitu waktu diharamkannya jual beli sampai dihalalalkan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dan Imam Ibnu Mundzir dari As-Syi’bi.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) yaitu waktu antara adzan sampai diselesaikannya sholat jum’at. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih dari Sahabat Ibnu Abbas.

Ada yang mengatakan, (waktu mustajabah itu) yaitu waktu antara imam (khatib) duduk di atas mimbar sampai diselesaikannya sholat jum’at. Imam Muslim dan Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hadits Abu Musa Al-Asy’ari bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:

هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلَسَ الْإِمَامُ إِلٰى أَنْ تُنْقَضَى الصَّلَاةُ

Itu adalah waktu ketika Imam duduk sampai diselesaikannya sholat”.

Imam Ibnu Hajar berkata: Pendapat ini (sesuai hadits Abu Musa Al-Asy’ari) dapat disimpulkan bersama dengan 2 pendapat sebelumnya.

Ada yang mengatakan: Waktunya ketika dimulainya khutbah sampai khutbah selesai. Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkannya dengan sanad yang dhaif dari Sahabat Ibnu Umar secara marfu’.

Ada yang mengatakan: Waktunya ketika imam turun dari mimbar, Ibnu Mundzir meriwayatkannya dari Sahabat Abu Qatadah.

Ada yang mengatakan: Ketika dikerjakannya sholat Jum’at. Ibnu Mundzir meriwayatkannya dari Al-Hasan dan Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang dhaif dari Maimunah binti Sa’ad bahwa ia bertanya:

أَنَّهَا قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ أَفْتِنَا عَنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، قَالَ : فِيْهَا سَاعَةٌ لَا يَدْعُو الْعَبْدُ فِيْهَا رَبَّهُ إِلَّا اسْتُجَابَ لَهُ، قُلْتُ : أَيُّ سَاعَةٍ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، قَالَ : ذٰلِكَ حِيْنَ يَقُوْمُ الْإِمَامُ

Bahwa ia bertanya, “Wahai Rasulullah, berilah fatwa pada kami tentang sholat jum’at”. Rasulullah SAW menjawab, “Di dalam Sholat Jum’at adalah waktu yang mana tidaklah seorang hamba berdoa pada Tuhannya kecuali doanya dikabulkan”. Aku (Maimunah binti Sa’ad) bertanya, “Kapankah waktu itu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Waktu itu adalah ketika imam berdiri melaksanakan sholat jum’at”.

Ada yang mengatakan: Waktunya mulai berdirikannya sholat sampai sempurnanya (selesainya) sholat, sesuai hadits Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah menilainya hasan, dari Amr bin Auf:

قَالُوْا : أَيَّةُ سَاعَةٍ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، قَالَ : حِيْنَ تَقُوْمُ الصَّلَاةُ إِلَى الْاِنْصِرَافِ مِنْهَا

Para sahabat bertanya, “Kapankah waktunya wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Ketika sholat didirikan sampai selesai sholat””.

Imam Baihaqi meriwayatkannya di dalam Kitab Syu’abul Iman dengan redaksi:

مَا بَيْنَ أَنْ يَنْزِلَ الْإِمَامُ مِنَ الْمِنْبَرِ إِلٰى أَنْ تُنْقَضَى الصَّلَاةُ

Yaitu waktu antara ketika imam turun dari mimbar sampai diselesaikannya sholat”.

Ada yang mengatakan: Waktu itu adalah waktu ketika Nabi SAW mengerjakan sholat jum’at. Imam Ibnu Asakir meriwayatkannya dari Imam Ibnu Sirrin.

Ada yang mengatakan: Waktunya mulai dari sholat Ashar sampai terbenamnya matahari. Ibnu Juraih meriwayatkannya dari Sahabat Ibnu Abbas secara mauquf, dan Imam Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang dhaif dari Sahabat Anas secara marfu’:

اِلْتَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِيْ تُرْجٰى فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلٰى غَيْبُوْبَةِ الشَّمْسِ

Carilah waktu yang diharapkan (dikabulkannya doa) di Hari Jum’at setelah ashar sampai terbenamnya matahari”.

Di dalam riwayat Imam Ibnu Mandah dari Sahabat Abu Sa’id secara marfu’:

فَالْتَمِسُوْهَا بَعْدَ الْعَصْرِ أَغْفَلَ مَا يَكُوْنُ النَّاسُ

Lalu carilah waktu itu setelah ashar, yaitu waktu yang paling dilupakan oleh manusia”.

Ada yang mengatakan: Waktunya di dalam sholat ashar. Imam Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Yahya bin Ishaq dari Abdullah bin Abi Thalhah secara marfu’ lagi secara mursal.

Ada yang mengatakan: Waktunya setelah ashar sampai akhir waktu ihtiyar (1), Imam Al-Ghazali menceritakannya.

Catatan (1):
Waktu ihtiyar dalam sholat ashar dimulai dari bayangan benda 1,5 kali lebih panjang daripada benda itu sampai kira-kira bayangan benda 2 kali lebih panjang daripada benda itu.

Ada yang mengatakan: Waktunya adalah akhir waktu setelah ashar. Imam Abu Dawud dan Imam Al-Hakim mengeluarkannya dari Sahabat Jabir secara marfu’, dan redaksinya:

فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Lalu carilah waktu itu di akhir waktu setelah ashar”.

Ashabus Sunan mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يُصَادِفُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللّٰهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

Sebaik-baik hari yang mana matahari terbit adalah Hari Jum’at. Di dalamnya adalah waktu yang mana seorang hamba muslim tidak mendapatinya sedangkan ia sedang sholat memohon sesuatu kepada Allah, kecuali Allah memberikan sesuatu itu padanya”.

Sahabat Ka’ab Al-Akhbar berkata: Waktu itu ada setiap tahun hanya pada satu hari. Lalu aku (Sahabat Abu Hurairah) menjawab, “Justru di setiap Hari Jum’at”. Sahabat Ka’ab pun membaca Kitab Taurat lalu berkata, “Benar Rasulullah SAW”.

Sahabat Abu Hurairah berkata: Kemudian aku bertemu dengan Sahabat Abdullah bin Salam, aku pun menceritakan padanya, lalu ia berkata, “Aku telah tahu kapan waktu itu, yaitu akhir waktu di Hari Jum’at”. Aku bertanya, “Bagaimana bisa, sedangkan Rasulullah telah bersabda: Tidaklah seorang hamba muslim mendapatinya sedangkan ia sedang sholat”, sedangkan waktu itu (akhir Hari Jum’at) beliau tidak sedang sholat?”. Lalu Sahabat Abdullah bin Salam menjawab, “Tidakkah Rasulullah SAW pernah bersabda: Barang siapa yang duduk di sebuah majlis sembari menunggu sholat, maka ia sama seperti sedang sholat?”. Aku menjawab, “Benar”. Sahabat Abdullah bin Salam berkata, “Lalu waktu itu adalah akhir waktu di Hari Jum’at”.

Dan di dalam Kitab At-Targhib karya Imam Ashfihani dari hadits Abu Sa’id Al-Khudzri secara marfu’:

السَّاعَةُ الَّتِيْ يُسْتَجَابُ فِيْهَا الدُّعَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَغْفَلُ مَا يَكُوْنُ عَنْهُ النَّاسُ

Waktu yang dikabulkannya doa di dalamnya di Hari Jum’at adalah akhir waktu di Hari Jum’at sebelum tenggelamnya matahari, yaitu waktu yang paling dilupakan oleh manusia”.

Ada yang mengatakan: Ketika separuh matahari telah layu karena tenggelam. Imam Thabrani mengeluarkannya di dalam Kitab Al-Ausath.

Imam Baihaqi mengeluarkannya di dalam Kitab Syuabul Iman dari Sayyidah Fathimah binti Nabi SAW:

أَنَّهَا قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيَّةُ سَاعَةٍ هِيَ، قَالَ : إِذَا تَدَلَّى نِصْفُ الشَّمْسِ لِلْغُرُوْبِ

Sesungguhnya Sayyidah Fathimah bertanya pada Nabi, “Kapankah waktu itu”. Nabi SAW menjawab, “Ketika separuh matahari telah layu karena tenggelam””.

Ini adalah banyaknya pendapat mengenai waktu mustajabah. Imam Al-Muhibbu At-Thabari berkata: Hadits yang paling shahih mengenai waktu mustajabah adalah hadits Abu Musa Al-Asy’ari di dalam riwayat Imam Muslim, sedangkan pendapat yang paling masyhur (terkenal) mengenai waktu mustajabah adalah pendapat Abdullah bin Salam. Imam Ibnu Hajar berkata: Adapun hadits selain keduanya, ada kalanya sanad-sanadnya dhaif atau mauquf yang mana orang yang meriwayatkannya disandarkan berdasarkan ijtihad, bukan taufiq.

Kemudian ulama’ salaf berselisih pendapat manakah dari kedua pendapat tersebut yang lebih unggul?. Ulama’ murajjih mengunggulkan masing-masing. Imam Baihaqi, Imam Ibnu Arabi, dan Imam Qurtubhi mengunggulkan pendapat di dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari. Imam An-Nawawi berkata: Hadits Abu Musa adalah yang shahih dan yang benar.

Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Rahawaih, Imam Ibnu Abdul Barr, Imam Ibnu, dan Imam Ibnu Zamlakani yang merupakan ulama’ Syafi’iyyah, mengunggulkan pendapat Ibnu Abdus Salam.

Aku (Imam As-Suyuthi, penyusun kitab) berkata: Di sini adalah sebuah catatan penting dan itu adalah, bahwa hadits yang disampaikan oleh Sahabat Abu Hurairah pada Sahabat Ibnu Salam bahwa waktu mustajabah bukanlah waktu sholat, dinyatakan juga pada hadits Abu Musa Al-Asy’ari, karena keadaan khutbah bukanlah waktu sholat (2).

Catatan (2):
Kedua hadits ini dapat disimpulkan bahwa waktu mustajabah tidak berada pada saat seseorang dalam keadaan sholat

Berbeda waktu setelah ashar, karena waktu itu adalah waktu doa. Nabi SAW bersabda di dalam hadits “يسأل الله شيئا (meminta sesuatu kepada Allah)”, sedangkan keadaan khutbah bukanlah waktu doa karena sesungguhnya di waktu khutbah diperintahkan untuk mendengarkan, demikian pula keseluruhan waktu sholat jum’at. Waktu doa di dalam sholat, adakalanya ketika iqamah, sujud, atau tasyahhud.

Apabila hadits itu (hadits Abu Musa Al-Asy’ari) dikaitkan pada waktu-waktu ini, maka akan menjadi jelas. Dan hadits itu (hadits Abu Musa Al-Asy’ari) dapat dikaitkan pada sabda Nabi SAW, “وهو قائم يصلى (dan ia berdiri melakukan sholat)” pada kenyataannya di dalam 2 objek hadits ini dan pada makna majaznya di dalam iqamah, maksudnya adalah ketika ia hendak melakukan sholat.

Ini adalah pemeriksaan yang baik yang dibukakan oleh Allah. Dan dengan pemeriksaan ini, jelaslah keunggulan riwayat Sahabat Abu Musa dibanding pendapat Sahabat Ibnu Salam, dikarenakan tetapnya hadits pada makna dhahirnya dari sabda Nabi SAW, “يصلى ويسأله (Ia sholat dan memohon kepada Allah)”. Karena hadits Sahabat Abdullah bin Salam lebih utama (lebih tepat dimaknai dhahirnya) daripada dikaitkan makna menunggu sholat. Karena itu adalah majaz yang jauh dan memberi prasangka bahwa menunggu sholat adalah syarat memperoleh waktu ijabah. Begitu juga, tidak dapat dikatakan orang yang menunggu sholat adalah orang yang berdiri mengerjakan sholat, meskipun benar bahwa ia sedang dalam sholat, karena lafadz “قائم (berdiri)” memberitahu tentang arti melakukan suatu pekerjaan (bukan menunggu).

Pendapat yang aku istikharahkan kepada Allah dan dengan pendapat ini aku berpendapat dari banyaknya pendapat bahwa waktu ijabah adalah ketika iqamah sholat jum’at. Dan keseluruhan hadits-hadits yang marfu’ mengacu pada pendapat ini. Adapun hadits Maimunah maka sudah jelas, demikian pula hadits Amr bin Auf.

Dan hadits Abu Musa Al-Asy’ari juga tidak bertentangan dengan pendapat ini, karena hadits itu menjelaskan bahwa waktu mustajabah berada di waktu antara imam (khatib) duduk sampai diselesaikannya sholat jum’at. Dan demikian itu selaras dengan waktu iqamah, bahkan mencakup waktu iqamah. Karena waktu khutbah bukanlah waktu sholat dan bukan pula waktu doa, sedangkan waktu sholat bukanlah waktu berdoa dalam keseluruhan sholat.

Dan tidak dapat disangkakan bahwa hadits itu (riwayat Abu Musa Al-Asy’ari) dimaksudkan untuk menghabiskan waktu ini (khutbah sampai sholat) secara pasti, karena sesungguhnya waktu mustajabah itu sebentar sesuai dengan nash dalil dan kesepakatan ulama’, sedangkan waktu khutbah dan sholat adalah waktu yang lebar (lama). Kebanyakan pendapat yang telah disebutkan setelah tergelincirnya matahari dan ketika adzan dapat ditangguhkan pada pendapat ini (ketika iqamah), pendapat-pendapat itu dapat dirujukkan pada pendapat ini (ketika iqamah) dan tidak bertentangan.

Imam At-Thabrani telah mengeluarkan riwayat dari Auf bin Malik yang seorang sahabat, ia berkata:

إِنِّيْ لَأَرْجُو أَنْ تَكُوْنَ سَاعَةُ الْإِجَابَةِ فِيْ إِحْدَى السَّاعَاتِ الثَّلَاثِ : إِذَا أَذَنَ الْمُؤَذِّنُ وَمَا دَامَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَعِنْدَ الْإِقَامَةِ

Sesungguhnya aku berharap bahwa waktu mustajabah ada di salah satu 3 waktu, yaitu ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan jum’at, selama imam berada di atas mimbar, dan ketika iqamah sholat jum’at”.

Dasar yang paling kuat terhadap pendapat ini adalah hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu kalimat “وهو قائم يصلى (ia berdiri melaksanakan sholat)”. Lalu aku mengaitkan kata “وهو قائم” pada berdiri untuk hendak mengerjakan sholat ketika iqamah dan kata “يصلى” pada keadaan yang dikira-kirakan. Kalimat yang menunjukkan haliyyah (keadaan) ini menjadi syarat di dalam waktu mustajabah. Karena waktu mustajabah dikhususkan pada orang yang menghadiri sholat jum’at agar dapat mengecualikan orang yang terlambat sholat jum’at. Ini adalah perkiraan yang jelas bagiku di dalam kedudukannya, dan hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

Imam Ibnu Sa’ad berkata di dalam Kitab Thabaqahnya, Affan bin Muslim telah menceritakan pada kami, Hamad bin Salamah telah menceritakan pada kami, Ali bin Zaid bin Jud’an telah menceritakan pada kami bahwa Ubaidillah bin Naufal, Said bin Naufal, dan Mughirah bin Naufal merupakan orang-orang yang ahli qiraah bagi kaum Qurasy (sebelum masuk islam). Mereka berangkat pagi untuk melakukan sholat jum’at ketika matahari terbit, mereka menginginkan waktu itu yang mana diharapkan terkabulnya doa. Lalu, Ubaidillah bin Naufal tertidur, dipukullah punggungnya dengan keras. Lalu dikatakan, “Ini adalah waktu yang kamu inginkan”. Ubaidillah bin Naufal pun mengangkat kepalanya, ternyata ada seumpama mendung yang naik ke atas langit dan itu terjadi ketika matahari tergelincir.

Faidah

Golongan yang berpendapat mengutamakan malam hari daripada siang hari mengambil hujjah, bahwa di setiap malam ada waktu yang mustajabah sebagaimana di dalam hadits-hadits shahih. Dan waktu itu tidaklah ada di siang hari kecuali di Hari Jum’at.


Kekhususan 58

Bersedekah di Hari Jum’at pahalanya dilipatgandakan melebihi hari-hari lainnya. Imam Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Al-Mushannaf dari Sahabat Ka’ab berkata:

الصَّدَقَةُ تُضَاعَفُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Bersedekah pahalanya dilipatgandakan di Hari Jum’at”.


Kekhususan 59

Kebaikan dan keburukan di Hari Jum’at dilipatgandakan. Imam Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat dari Sahabat Ka’ab berkata:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ تُضَاعَفُ فِيْهِ الْحَسَنَةُ وَالسَّيِّئَةُ

Hari Jum’at, kebaikan dan keburukan dilipatgandakan di dalamnya”.

Imam At-Thabrani mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Al-Ausath dari hadits Sahabat Abu Hurairah secara marfu’:

تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Kebaikan-kebaikan dilipatgandakan pahalanya di Hari Jum’at”.

Imam Hamid bin Zanjawaih mengeluarkan riwayat di dalam Kitab Fadhailul A’mal dari jalur Al-Haitsam bin Hamid berkata, Abu Sa’id memberitahuku, ia berkata:

بَلَغَنِيْ أَنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالسَّيِّئَةَ تُضَاعَفُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Telah sampai padaku bahwa kebaikan pahalanya dilipatgandakan di Hari Jum’at dan keburukan dosanya dilipatgandakan di Hari Jum’at”.

Imam Hamid bin Zanjawaih mengeluarkan riwayat dari Al-Musayyab bin Rafi’ berkata:

مَنْ عَمِلَ خَيْرًا فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ ضُعِّفَ بِعَشْرَةِ أَضْعَافِهِ فِيْ سَائِرِ الْأَيَّامِ، وَمَنْ عَمِلَ شَرًّا فَمِثْلُ ذٰلِكَ

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan di Hari Jum’at, maka pahalanya dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipatnya di dalam semua hari-hari lainnya. Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan, maka seperti itu juga”.


Kekhususan 60

(Disunnahkan) membaca Surat Hamim Ad-Dhukan di Hari Jum’at dan Malam Jum’at. Imam Tirmidzi mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَرَأَ حٓم الدُّخَانِ فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ غُفِرَ لَهُ

Barang siapa yang membaca Surat Hamim Ad-Dukhan di Malam Jum’at, maka diampunilah dosanya”.

Imam At-Thabrani dan Imam Al-Asbihani mengeluarkan riwayat dari Sahabat Abu Umamah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَرَأَ حٓم الدُّخَانِ فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ أَوْ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ بَنَى اللّٰهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Barang siapa yang membaca Surat Hamim Ad-Dukhan di Malam Jum’at atau Hari Jum’at, maka Allah membangunkan rumah baginya di surga”.

Imam Ad-Darami mengeluarkan riwayat dari Abu Rafi’ berkata:

مَنْ قَرَأَ حٓم الدُّخَانِ فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ وَزُوِّجَ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ

Barang siapa yang membaca Surat Hamim Ad-Dukhan di Malam Jum’at, maka ia diampuni sampai pagi harinya dan dinikahkan dengan bidadari”.


Wallahu a’lam bis showab.

Baca selengkapnya: Terjemah Kitab Nurul Lum’ah Bahasa Indonesia.