Ifadatut Thullab - (6) Memperkuat Madzhab Imam Ibnu Hambali dan Jumhur Ulama' Salaf

Ifadatut Thullab - Memperkuat Madzhab Imam Ibnu Hambali dan Jumhur Ulama' Salaf

Imam Ibnu Hambali mengatakan, sesungguhnya dalil mengenai mayit mendapatkan manfaat atas apa yang dilakukan orang-orang yang masih hidup adalah Al-Qur'an, Hadist, ijma', dan kaidah-kaidah syariat.

Adapun dalil Al-Qur'an, maka Firman Allah Yang Maha Luhur :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami" (Al-Hasyr : 10).

(Pada ayat di atas) Allah memuji kepada mereka (sahabat Muhajirin dan sahabat Anshor) dengan permohonan ampun mereka kepada orang-orang mukmin sebelum mereka. Maha hal itu menunjukkan mengenai orang-orang yang sudah meninggal mendapatkan manfaat atas doa istighfar orang-orang yang masih hidup. Ijma' ulama' umat juga menunjukkan mengenai mayit mendapatkan manfaat atas doa pada doa yang dipanjatkan kepada mayit di dalam sholat jenazah. Nabi SAW bersabda :
اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلٰى الْمَيِّتِ فَاَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ
"Ketika kalian menyolati mayit, maka murnikanlah (ikhlaskan hati) berdoa padanya" - dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Kitab Sunan Abu Dawud dari hadist riwayat sahabat Abu Hurairah.

Dan hal ini tidaklah terjadi pertentangan di dalamnya yakni masalah mayit mendapatkan manfaat atas doa orang-orang yang masih hidup. Dan sesungguhnya kaum ahli bid'ah yang memperselisihkan masalah ini, mereka berkata, "Tidak akan sampai kepada mayit sesuatu dari doa dan sebagainya". Itu merupakan pendapat batil yang tidak diperlukan untuk menolak pendapat tersebut karena pendapat tersebut telah ditolak oleh Al-Qur'an dan Hadist.

Para ulama' bersepakat bahwa ketika orang yang masih hidup memiliki hak wajib kepada mayit, dia ingin menggugurkan dan membebaskan hak itu dari mayit maka sesungguhnya dia bisa memberikan manfaat kepada mayit sebagaimana gugurlah hak mayit dari tanggungan orang yang masih hidup, (ini) berdasarkan nash dan ijma' ulama'.

Ketika mayit mendapatkan manfaat dengan terbebaskan dan terggugurkan haknya, maka dia pun bisa mendapatkan kemanfaatan atas pahala amal-amal baik yang dihadiahkan kepadanya, tidak jauh berbeda. Karena sesungguhnya pahala sebuah amal adalah hak bagi orang yang mengamalkan, ketika dia menghadiahkan dan memberikan pahala itu kepada mayit maka pahala itu akan berpindah kepadanya (mayit).

Nabi SAW bahkan telah menegaskan atas sampainya pahala puasa yang mana hal itu sudah sering ditinggalkan (contoh orang yang memiliki hutang menggadla' puasa tetapi dia meninggal sebelum membayar hutang puasa qadla tersebut, maka keluarga boleh menggantikannya), sedangkan puasa bukanlah amal anggota badan seperti pada sampainya pahala membaca Al-Qur'an yang mana itu adalah amal lisan yang bisa didengar oleh dua telinga dan dilihat oleh dua mata dengan jalan yang lebih utama.

Sudah tentu jelas (menjelaskan tentang jalan yang lebih utama) bahwa berpuasa adalah ibadah niat murni dan mencegah jiwa dari segala yang membatalkan, dan Allah telah menyampaikan pahala puasa kepada mayit, maka bagaimana dengan membaca Al-Qur'an yang merupakan ibadah amal dan niat ?. Tentu sampainya pahala puasa kepada mayit menegaskankan pada sampainya pahala semua amal-amal lainnya.

Menambahi kejelasan (tentang jalan yang utama dalam hal ini) bahwa ibadah ada 3 bagian yaitu ibadah badaniah (badan), ibadah maliyah (harta), dan ibadah murokkabah (tersusun). Dari ibadah badaniah dan maliyah, syariat menegaskan atas sampainya pahala puasa pada sampainya pahala semua ibadah badaniah lainnya, syariat menegaskan atas sampainya pahala shodaqoh pada sampainya pahala semua ibadah maliyah lainnya. Dan syariat menegaskan atas sampainya pahala haji yang tersusun dari ibadah badaniah dan ibadah maliyah pada sampainya pahala ibada yang seperti itu. Tiga macam ibadah tersebut telah ditetapkan oleh nash dan i'tibar (ibroh).

Adapun dalil-dalil orang yang melarang hal itu (menghadiahkan pahala ibadah untuk mayit) maka mereka mengambil dalil pada Firman Allah Yang Maha Luhur :
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" (An-Najm : 39).

Firman Allah Yang Maha Luhur :
وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
"Dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan" (Ya Sin : 54).

Firman Allah Yang Maha Luhur :
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya" (Al-Baqarah : 286).

Dan di dalam hadist :
اِذَا مَاتَ ابْنُ اٰدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Ketika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara, yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya".

Mereka (orang yang melarang) mengatakan, ini menunjukkan bahwa apa yang berlawanan terhadap dalil yang telah dijelakan maka hal itu tidak akan tercapai (berhasil).

Mereka juga mengatakan, menghadiahkan pahala untuk orang lain adalah sifat i'tsar (mementingkan orang lain), namun sifat i'tsar dengan sebab mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) adalah makruh.

[Mereka (orang yang melarang) mengatakan] dan jugai, jika boleh melakukan ini (orang yang masih hidup menghadiahkan pahala kepada mayit) maka (orang yang masih hidup itu) tentu boleh memindahkan pahala dan menghadiahkannya kepada orang yang masih hidup.

[Dijawablah] dari dalil-dali ini :
Adapun Firman Allah Yang Maha Luhur :
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" (An-Najm : 39).

[Jawabannya] sesungguhnya ayat ini bukanlah tempat pertentangan, karena sesungguhnya Allah memberitahu bahwa manusia tidak memiliki kecuali usahanya yang mana dia berusaha untuk dirinya dan menghilangkan kepemilikannya untuk usaha manusia lainnya. Allah tidak berfirman bahwa manusia tidak bisa memberikan kemanfaatan kecuali usaha dirinya sendiri yang mana itu adalah tempat pertentangan kita.

(Maksudnya, ayat tersebut memberitahu bahwa manusia berhak atas pahala amalya sendiri, bukan manusia lainnya, tetapi dalam ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa manusia tidak mampu memberikan kemanfaatan atas pahala amalnya kepada manusia lainnya).

Adapun Firman Allah Yang Maha Luhur :
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya" (Al-Baqarah : 286).

Maka jawabannya, sesungguhnya Firman Allah Yang Maha luhur "لَهَا مَا كَسَبَتْ" adalah serupa maknanya dengan Firman Allah Yang Maha Luhur "وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى", yaitu membetahu bahwa apa yang dikerjakan seseorang untuk dirinya sendiri adalah hak milik orang itu, sedangkan Firman tersebut (makna potongan ayat) tidak menghilangkan seseorang mendapatkan kemanfaatan (dari orang lain) atas pahala yang dihadiahkan padanya.

Adapun Firman Allah Yang Maha Luhur "وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ", maka hal itu bukanlah tempat pembahasan kita karena pembicaraan kita adalah tentang bertemunya (sampainya) pahala yang bisa memberikan kemanfaatan pada manusia lain. Makna ayat yang memberritahu bahwa seseorang mendapatkan siksa (dari dosa) yang dia kerjakan adalah tidak menghilangkan (makna) bahwa Allah akan meringankan atau menghilangkan atas dosa yang dia kerjakan dengan shodaqoh dan doa. Justru ayat tersebut memberitahu bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa-dosa dari orang lain.

Adapun Firman Allah Yang Maha Luhur :
وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
"Dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan" (Ya Sin : 54).

Kebenaran dari ayat tersebut adalah pemberitahuan bahwa seorang hamba tidak akan disiksa sebab dosa-dosa hamba lainnya dan tidak menghilangkan bahwa seorang hamba mendapatkan manfaat atas amal hamba lainnya (jika pahala amal itu dihadiahkan kepadanya).

Dan adapun Hadist :
اِذَا مَاتَ ابْنُ اٰدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Ketika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara, yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya".

Maka pengambilan dalil dengan hadist tersebut tidak berada pada tempatnya, karena kita tidak akan berdoa bahwa hadiah pahala yang sampai kepada mayit dari saudara-saudara mukminnya merupakan jumlah dari amal yang dikerjakan mayit. Kita hanya mengambil dalil-dalil terhadap kemanfaatan yang didapatkan mayit atas hadiah dari saudara-saudaranya. Nabi SAW tidak bersabda bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amal yang bisa memberikan manfaat kepadanya, justru Nabi SAW memberitahu tentang terputus amalnya. Ini adalah amal untuk saudara mukminnya yang pahalanya dihadiahkan kepadanya, maka pahala amal seorang yang mengerjakannya pasti sampai kepada mayit, bukan pahala amal (yang dikerjakan oleh) dirinya. Karena tidak ada amal bagi mayit, maka terputuslah amalnya dan yang pasti sampai kepada mayit tersebut adalah pahala amal selain dirinya (jika pahalanya dihadiahkan kepada mayit).

Adapun pengambilan dalil dengan tidak adanya sifat i'tsar (mementingkan orang lain) sebagai wasilah beribadah, maka bagaimana dengan ibadah dan pahalanya ?

[Maka jawabannya] sesungguhnya telah tetap dalil tentang kebolehan memberikan pahala untuk mayit sebagai sarana beribadah dari orang yang masih hidup kepada orang yang masih hidup lainnya. Yaitu hadist seseorang yang mengatakan kepada Rosulullah SAW :
اَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِيْ كُلَّهَا ؟
"Bolehkan aku menjadikan (memberikan) untukmu semua (pahala) sholatku ?".

Penjelasan hadist tersebut sebagaimana sebagian ulama' berpendapat, sesungguhnya yang dimaksud dengan hadist tersebut adalah pahala sholat-sholat fardlu karena itu adalah sholat yang mana mengerjakan lisan syariat dikembalikan pada sholat tersebut. Lalu, Rosulullah SAW menjawab :
اِذًا تُكْفٰى هَمَّكَ
"Pada saat itu, keinginanmu akan dicukupi".

Atau seumpama lafadz ini (lafadz jawaban Rosulullah SAW), maka hadist ini merupakan nash di dalam pendapat kita.

Adapun pengambilan dalil bahwa jika diperbolehkan menghadiahkan pahala dari orang yang masih hidup kepada mayit, maka tentu juga diperbolehkan menghadiahkan pahala dari orang yang masih hidup kepada orang yang masih hidup lainnya.

[Jawabannya] sesungguhnya ayat yang telah kami tuturkan menunjukkan pada bertemunya (sampainya) pahala itu kepada mayit. Dan hadist "اَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِيْ كُلَّهَا ؟" menunjukkan keshohihan hal itu (orang yang masih hidup menghadiahkan pahalanya) kepada orang yang masih hidup lainnya, maka pendapat yang telah kalian ucapkan adalah sesuatu yang telah ditetapkan.

Sebegian ulama fiqih telah berpendapat berdasarkan jawaban itu baik dari sahabat Imam Ahmad bin Hambali dan lainnya.

Allah telah menyariatkan istighfar kepada orang-orang yang masih hidup dan berdoa kepada mereka, dan sudah menjadi kesepakatan ulama', sah saja orang yang masih hidup membayar hutang orang yang masih hidup lainnya. Maka manakah perkara yang melarang menghadiahkan pahala ibadah taat kepada Allah Yang Maha Luhur ?.

Ketika kami telah menyelesaikan pendapat itu pada masalah ini, maka kamu mengetahui kuatnya pendapat bahwa akan sampai kepada mayit setiap pahala yang dihadiahkan oleh orang yang masih hidup kepadanya, baik ibadah sholat, puasa, membaca Al-Qur'an, haji, atau lainnya, dari setiap amal yang mana seorang hamba mendapatkan pahala dalam mengerjakannya dan menjadikan pahala itu untuk saudaranya sebagai sarana berbuat baik, silaturrahim, dan kebaikan.

Sedangkan makhluk Allah yang lebih membutuhkan silaturrahim adalah mayit yang tertinggal di dalam tanah, yang mana menjadikan alasan melakukan setiap ibadah ketaatan. Dan karena itulah Imam As-Subki, semoga Allah Yang Maha Luhur merohmati beliau, berkata, "Jika aku menemukan seseorang yang bisa aku sewa, dia melaksanakan sholat sunnah atas aku, maka aku akan melakukannya", atau seumpama kalimat Imam Subki tersebut (kurang lebih seperti itu kalimatnya).

[Jika kamu bertanya] manakah yang lebih utama, manusia memberikan pahala ibadah taatnya kepada saudaranya atau menyisakannya untuk dirinya ?.

[Aku menjawab] Tidak ada pembicaraan, sesungguhnya seseorag dengan shodaqohnya pada orang lain, dia tetap diberikan pahala, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seorang yang beramal.

Telah tetap bahwa ketika seorang hamba berdoa untuk saudaranya di dalam keadaan samar, maka malaikat berkata, "Dan bagimu, pahala seperti itu pula". Kemudian, sesungguhnya menghadiahkan pahala kepada saudaranya adalah suatu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan 10 kebaikan yang serupa. Maka barang siapa yang menghadiahkan kepada saudaranya, misalnya pahala puasa sehari atau pahala membaca Al-Qur'an satu juz, maka Allah akan memberikan orang itu pahala sebanyak 10 hari dan pahala membaca Al-Qur'an 10 juz.

Dari sini, maka jelaslah bahwa menjadikan pahala ketaatan seseorang untuk orang lain lebih utama daripada menyimpannya untuk diri sendiri. Dan karena itulah Nabi SAW mengakui seseorang yang berkata kepada Beliau, "Bolehkan aku menjadikan (memberikan) untukmu semua (pahala) sholatku ?". Dan Beliau menjawab kepadanya, "Pada saat itu, keinginanmu akan dicukupi".

[Jika kamu mengatakan] ini (larangan menghadiahkan pahala untuk mayit) adalah sesuatu yang dilakukan oleh umat terdahulu, baik sahabat maupun lainnya, dan mereka adalah orang yang paling berkeinginan keras pada kebaikan.

[Aku menjawab] Para sahabat telah melakukannya (menghadiahkan pahala) kepada makhluk Allah yang paling mulia (Nabi SAW). Dan dari mana kamu mengetahui bahwa orang-orang dahulu tidak melakukan itu (menghadiahkan pahala untuk mayit) ?. Padahal tidak disyaratkan di dalam memberikan pahala itu agar disaksikan oleh manusia dan tidak pula memberitahu mereka. Dan dengan memperkirakan bahwa seorang dari orang-orang dahulu tidak melakukannya (melarang menghadiahkan pahala untuk mayit) maka sesungguhnya mereka tidak pernah mencela hal itu karena itu adalah kesunnahan bukan wajib.

Telusuri lebih lengkap : Terjemah Kitab Ifadatut Thullab Bahasa Indonesia.