Minhatul Mughits - (20) Khotimah (Penutup)

Minhatul Mughits - (20) Khotimah atau Penutup

Terjemah Kitab Minhatul Mughits Bahasa Indonesia, Bab Khotimah (Penutup)

KHOTIMAH (PENUTUP)
Metode-metode tahammul (menerima) riwayat hadits ada 8 dan diikuti oleh shighat (bentuk kalimat) penyampaian haditsnya :

Pertama, metode tahammul "sima'" (mendengarkan) dari lafadz gurunya, baik dibacakan oleh gurunya atau orang lain. Dan rawi itu mengatakan ketika menyampaikan riwayat haditsnya (dengan shighat) :
سَمِعْتُ، حَدَّثَنِيْ
"Aku mendengar, telah menceritakan kepadaku".

Kedua, membaca di hadapan gurunya, sama halnya baik dia membaca di hadapan gurunya ataupun rawi lain yang membaca di hadapan gurunya sedangkan rawi itu mendengar. Rawi yang membaca sendiri di hadapan gurunya (mengatakan ketika menyampaikan riwayat) :
اَخْبَرَنِيْ اَوْ وَقَرَأْتُ عَلَيْهِ اَوْ اَنْبَاَنِيْ
"Fulan (guru) telah mengabariku, atau aku membaca di hadapan fulan (guru), atau fulan (guru) telah memberi berita kepadaku".

Rawi yang mendengarkan riwayat rawi lain mengatakan (dengan shighat) :
قُرِئَ عَلَيْهِ وَاَنَا اَسْمَعُ
"Telah dibacakan oleh seseorang di hadapan fulan (guru), sedangkan aku mendengar".
Catatan :
Jadi, rawi tersebut diminta oleh gurunya untuk membacakan sebuah riwayat hadits di hadapannya, atau rawi lain diminta membaca di hadapan gurunya sedangkan rawi itu juga ikut mendengar riwayat hadits tersebut.
Ketiga, ijazah khusus yang telah ditentukan. Syarat ijazah tersebut yaitu guru yang memberi ijazah merupakan orang yang mengetahui apa yang ada di dalam tulisan itu (riwayat hadits) dan orang yang menerima ijazah adalah memahami (ijazah itu) dan dhabit (kuat hafalannya), jika tidak maka ijazah tersebut batal. Rawi yang diberi ijazah oleh gurunya mengatakan dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan ijazah, yaitu :
شَافَهَنِيْ
"Fulan (guru) telah berbicara langsung kepadaku".

Keempat, munawalah (pemberian). Disyaratkan metode munawalah harus dibarengi dengan izin (dari gurunya). Bentuk munawalah yaitu seorang guru memberikan hadits asli atau percabangan yang menempati hadits asli itu (salinan copy) yang diterimanya untuk dimiliki murid (diberikan kepada murid) atau dipinjamkan kepada murid. Atau seorang murid menghadirkan (membacakan) hadits asli atau percabangan (salinannya) yang diterimanya, gurunya pun mencoba memperhatikannya kemudian dia memberikan hadits itu kepadanya sambil mengatakan, "Ini adalah riwayatku dari Fulan, maka riwayatkanlah ini dariku". Murid mengatakan ketika menyampaikan riwayat (dengan shihat) :
نَاوَلَنِيْ
"Fulan (guru) telah memberikan kepadaku".

Kelima, mukatabah (penulisan) yaitu seorang guru menulis sesuatu dari haditsnya, baik dirinya sendiri (yang menulis) atau orang lain dengan izinnya, (yang diberikan) kepada rawi yang tidak ada di hadapannya atau rawi yang ada di hadapannya. Tidak disyaratkan untuk meminta izin guru dalam meriwayatkan hadits itu menurut pendapat yang shahih. Sedangkan murid mengatakan ketika menyampaikan riwayatnya :
كَتَبَ اِلَيَّ
"Fulan (guru) telah menulis/mengirim tulisan hadits kepadaku".

Keenam, wijadah (menemukan) yaitu jika seorang rawi menemukan khat tulisan (hadits) yang diketahui siapa penulisnya, padahal dia tidak mendengar darinya, tidak membacakan, atau tidak selain keduanya. Rawi itu mengatakan ketika menyampaikan riwayat :
وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ
"Aku telah menemukan tulisan hadits Fulan".

kemudian dia membacakan isnad dan matannya.

Ketujuh, wasiat dengan tulisan, yaitu seorang rawi berwasiat ketika menjelang wafatnya atau dalam bepergiannya kepada seorang rawi lain yang telah ditentukan, (berwasiat) dengan tulisan hadits asli  atau asal-usulnya. Rawi itu mengatakan ketika menyampaikan riwayat :
اَوْصَى اِلَّيَّ فُلَانٌ بِكِتَابٍ، قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا
"Fulan telah berwasiat kepadaku dengan tulisannya, dia mengatakan, "telah menceritakan kepadaku .... dan seterusnya"".

Kedelapan, i'lam (memberitahu) yaitu seorang guru memberitahu salah satu muridnya "Sesungguhnya aku akan meriwayatkan tulisan hadits fulan dari fulan", tetapi disyaratkan meminta izin dalam meriwayatkan dengan metode i'lam dan metode wasiat menurut pendapat yang shahih, jika tidak maka tidak ada ibrah didalamnya. Rawi itu mengatakan ketika menyampaikan riwayat :
اَعْلَمَنِيْ فُلَانٌ، قَالَ : حَدَّثَنِيْ
"Fulan telah memberitahuku, dia mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku .... dan seterusnya".

[Faidah] shighat "اَنْبَاَنِيْ" (telah memberi kabar padaku), "عَنْ" (dari), dan sebagainya merupakan suatu shighat yang bisa memuat metode sima' (mendengar) di dalam makna lafadznya dan bisa jadi tidak adanya metode sima', juga bisa memuat metode ijazah dan bisa jadi tidak adanya metode ijazah, seperti shighat "قَالَ" (berkata). Sedangkan shighat "ذَكَرَ" (menuturkan) dan shighat "رَوَى" (meriwayatkan) seperti shighat "شَافَهَنِيْ" (berbicara langsung padaku) dan shighat "كَتَبَ اِلَيَّ" (menuliskan/mengirim tulisan hadits padaku) menurut para ulama' akhir.

Adapun ulama' generasi pertengahan di antara ulama' awal dan ulama' akhir, mereka tidak menyebutkan shighat ibna'  "اَنْبَاَنِيْ" kecuali sebagai penguat dalam metode ijazah.

Wallahu a'lam bis showab.

Baca lebih lengkap : Terjemah Kitab Minhatul Mughits Bahasa Indonesia.